Surabaya - Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi bukti bahwa negara melalui penegak hukumnya hadir memberikan humanisme dalam penegakan hukum dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Melalui kebijakan restorative justice, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.
Meskipun demikian, perlu juga untuk digarisbawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi kesalahan serupa.
Untuk itu, permohonan pengajuan Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara.
Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka dan hak korban terlah dipulihkan kembali serta masyarakat merespons positif.
Dalam rangka melaksanakan penegakan hukum yang berorientasi pada konsep atau pendekatan Keadilan Restoratif, pada hari Rabu, tanggal 23 Oktober 2024, Kajati Jatim Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA., CSSL., memimpin Ekspose Mandiri 4 (empat) perkara yang diajukan untuk dihentikan Penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam giat itu, Kajati Jatim Mia Amiati didampingi oleh Aspidum, Koordinator dan para Kasi pada Bidang Pidum Kejati Jatim bersama-sama Kajari Kota Malang, Kajari Kota Blitar, Kajari Jember, Kajari Tanjung Perak, Kajari Gresik, Kajari Ngawi dan Kajari Kota Mojokerto.
4 (empat) Perkara Orharda, terdiri dari 1 (satu) perkara Pencurian yang memenuhi ketentuan Pasal 362 KUHP yang diajukan oleh Kejari Kota Malang.
2 (dua) perkara Laka Lantas yang memenuhi ketentuan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI No : 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang diajukan oleh Kejari Kota Malang dan Kejari Kota Blitar.
1 (satu) perkara Penganiayaan yang memenuhi ketentuan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang diajukan oleh Kejari Kota Mojokerto.@Red.